SeputarJonggol.com – Berawal dari catatan seorang penumpang pesawat Garuda Indonesia GA425 di medsos mengenai manuver go-around yang dilakukan pilot saat hendak mendarat di bandara Soekarno-Hatta pada Minggu (18/6/2017) lalu yang kemudian menjadi viral dan jadi bahan perbincangan hangat di tengah pelaku industri penerbangan.

Menyadur dari tulisan Reska K. Nistanto di halaman tekno.kompas pada Kamis (22/6/2017), dijelaskan oleh wartawan teknologi yang juga memiliki hobi di dunia penerbangan itu, bahwa ada setidaknya ada dua catatan yang ingin disampaikannya mengenai fenomena manuver go-around tersebut dan fenomena membagi ‘pengalaman tak menyenangkan’ saat terbang tanpa informasi yang komprehensif.

Pertama soal go-around. Seperti tersurat dari namanya, go-around adalah manuver untuk memutar kembali yang dilakukan oleh pilot saat hendak mendarat di suatu landasan. Manuver ini aman, pilot dilatih untuk melakukannya.

Mengapa harus melakukan go-around? Banyak alasan yang membuat pilot memutuskan melakukan go-around, seperti approach (fase mendekat ke landasan) yang tidak stabil, bisa jadi kurang lurus dengan landasan, pesawat terlalu tinggi/rendah, windshear (faktor cuaca), wake turbulence dari pesawat di depannya, masalah teknis, dan sebagainya.

Bisa pula disebabkan oleh masih adanya traffic (pesawat lain) yang berada di landasan. Alasan terakhir inilah yang spesifik ingin saya bahas di sini.

Pihak ATC bandara Soekarno-Hatta sendiri telah menjelaskan, sejatinya go-around yang dilakukan oleh GA425 diakibatkan oleh pesawat Sriwijaya Air SJ580 yang membatalkan proses takeoff.

Karena batal takeoff, maka SJ580 butuh waktu lebih lama di runway untuk keluar landasan. GA425 yang sudah mengantre mendarat di belakang SJ580 yang hendak takeoff, harus memutar sekali lagi karena runway belum kosong.

Semua itu dilakukan dengan komunikasi penuh dan koordinasi antara pilot GA425, SJ580, dan pihak ATC bandara Soekarno-Hatta. Pilot SJ580 menginformasikan membatalkan takeoff, ATC memberi instruksi, dan pilot GA425 melakukan manuver go-around.

Anda bisa membaca penjelasan Corporate Secretary AirNav Indonesia, Didiet KS Radityo, di tautan berita berikut ini.

 

Koreografi yang terganggu

Proses takeoff dan landing di suatu bandara itu ibaratnya sebuah koreografi. Pesawat sudah ditata berurutan sedemikian rupa saat memasuki ruang udara dekat dengan landasan. Ada jarak separasi antar pesawat yang diatur oleh ATC.

Di bandara Soekarno-Hatta sendiri dengan alat bantu navigasi yang dimiliki saat ini, separasi antar pesawat yang mengantre landing sekitar 5-6 nautical mil. ATC masih bisa menyisipkan satu pesawat untuk takeoff di sela-sela kedua pesawat yang landing itu.

Di bandara-bandara lain yang alat bantu navigasinya lebih canggih, jarak separasi antar pesawat ini bisa separuhnya, hingga 3 nautical mil.

Anda bisa melihat sibuknya bandara London Heathrow, dengan separasi antar pesawat yang begitu dekat di video timelapse berikut ini.

Nah, karena proses takeoff-landing ini adalah sebuah koreografi, maka dibutuhkan kerja sama dari semua agar koreografi ini berjalan lancar. ATC mengatur jarak separasi, pilot mendaratkan atau menerbangkan pesawat dengan sempurna dalam slot waktu yang diberikan.

Koreografi akan menjadi kacau jika salah satu pihak yang terlibat dalam proses takeoff/landing tadi ada yang mengalami kendala, seperti waktu takeoff yang butuh persiapan lebih lama, kontak radio yang macet (jamming), atau pembatalan takeoff akibat kendala teknis.

Tentunya semua berharap setiap penerbangan berjalan mulus-mulus saja. Namun kendala teknis terkadang tiba-tiba muncul. Hal-hal seperti inilah yang mengacaukan koreografi takeoff-landing di suatu bandara. Untuk itulah, pilot dilatih melakukan manuver go-around demi keselamatan.

Jadi apakah manuver go-around itu berbahaya, pesawat nyaris bertabrakan? Tidak. Go-around adalah hasil dari koordinasi dan pertimbangan yang matang, ada komunikasi intens di belakangnya.

 

Berbagi informasi yang komprehensif

Hal kedua yang ingin saya soroti adalah tentang membagi informasi di media sosial, tanpa data atau pengetahun yang komprehensif lengkap. Pengalaman go-around bagi orang awam bisa jadi tidak menyenangkan, terlebih jika pilot menginformasikan masih ada pesawat di landasan.

Bayangan yang seketika terlintas di benak penumpang tentunya, pesawat nyaris bertabrakan! Padahal di dalam kokpit sana, komunikasi dan koordinasi intens sudah terjadi sejak lama.

Penumpang hanya tahu soal output-nya saja, yakni manuver go-around akibat masih adanya traffic pesawat lain di runway.

Selain pilot dan ATC yang terlibat, tidak ada penumpang yang tahu soal bagaimana komunikasi antar ATC dengan pesawat-pesawat lainnya? Benarkah clearance untuk landing sudah diberikan? Di ketinggian berapa pilot memutuskan go-around? Berapa minimum decision altitude (MDA) di bandara Soekarno-Hatta?

Soal clearance untuk mendarat yang diberi ATC, clearance sebenarnya bukan perintah, melainkan otorisasi yang masih bisa dibatalkan. Di ketinggian berapa pun, jika pilot merasa tidak aman, mereka berhak memutuskan untuk go-around saat mendarat, bahkan ketika roda sudah mendarat di aspal runway sekalipun.

Jadi, janganlah mengambil kesimpulan sendiri atas suatu kejadian, terlebih menyangkut dunia penerbangan yang semuanya full-regulated. Biasakan mencari informasi yang komprehensif sebelum membaginya di media sosial.

Bisa dimaklumi jika penumpang ingin segera mendarat di tujuan. Namun percayalah, pilot dan awak kabin pun juga ingin mendarat tiba di tujuan dengan selamat.