SeputarJonggol.com – Terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan No. 47 Tahun 2017, tentang penetapan harga acuan pembelian di petani dan harga acuan penjualan di konsumen ternyata berbuntut panjang.
Gelombang penolakan aturan tersebut datang dari para pemasok beras dan juga para penjual beras. Mereka meminta agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan untuk dapat mengatur ulang aturan tersebut.
Untuk sementara ini, para pemasok beras dan penjual beras memilih untuk menghentikan operasional mereka daripada harus menanggung rugi.
Sementara itu, menanggapi protes para pedagang beras, pihak Kementerian Perdagangan melalui Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan, Karyanto Suprih, menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah terkait dikeluarkannya aturan harga eceran tertinggi beras tersebut merupakan acuan untuk pengendalian harga di pasaran. Jadi, harga acuan tersebut dipergunakan untuk stabilisasi harga.
Seandainya bahan pangan harganya naik tinggi dari harga acuan, dapat segera diambil tindakan. Masih menurut Karyanto, harga acuan dari Permendag itu sifatnya untuk menjadi tolok ukur stabilnya harga pangan di pasaran.
Harga acuan tersebut masih disosialisasikan dan belum diundangkan. Hingga saat ini yang masih berlaku adalah Permendag nomor 27 Tahun 2017 tentang Harga Acuan.
“Permendag 47 itu belum diundangkan, masih dalam tahap proses sosialisasi. Bahwa dengan harga acuan itu bisa jadi pengendali harga untuk mengetahui harga itu stabil atau tidak, tapi soal wajib atau tidak masih dalam tahap sosialisasi, dan belum diundangkan,” pungkas Karyanto Suprih. (dbs)