1 of 5

SeputarJonggol.com – Inggris Alami Krisis Biaya Hidup, Ekonomi Kini “Lampu Merah”.

Perekonomian Inggris saat ini sedang mengalami krisis biaya hidup. Hal ini disebabkan oleh tagihan energi yang melonjak, kenaikan biaya, dan penurunan daya beli konsumen.
Data baru pada hari Rabu lalu menunjukkan inflasi Inggris melonjak ke level tertinggi 40 tahun 10,1% pada Juli. Hal ini didorong oleh biaya makanan dan energi yang terus mengalami kenaikan.

Bank of England memperkirakan inflasi harga konsumen akan mencapai 13,3% pada bulan Oktober. Angka ini akan diiringi kenaikan biaya energi rata-rata yang kemungkinan mencapai 4.266 pound (Rp 75 juta) per tahun di awal 2023.

Pada hari yang sama, seorang direktur regulator energi Inggris Ofgem berhenti karena keputusannya untuk menambahkan ratusan pound ke tagihan rumah tangga. Ia menuduh regulator gagal mencapai ‘keseimbangan yang tepat antara kepentingan konsumen dan kepentingan pemasok’.

2 of 5

Dari segi upah, pendapatan riil di Inggris turun 3% tahunan pada kuartal kedua 2022. Ini merupakan penurunan paling tajam dalam catatan di Negeri Ratu Elizabeth. Ini kemudian juga berdampak pada pendapatan Usaha Kecil Menengah (UKM) di negara itu.

“Meskipun batas harga energi tidak berlaku untuk bisnis secara langsung, jutaan pemilik usaha kecil masih mengalami peningkatan tagihan energi pada saat biaya meningkat di sebagian besar wilayah operasional,” kata CEO perusahaan asuransi Simply Business, Alan Thomas, kepada CNBC International, Jumat (19/8/2022).

“Secara bersamaan, daya beli konsumen turun karena orang Inggris mengurangi pengeluaran yang tidak penting, merugikan pembukuan pemilik UKM.”

3 of 5

Pada awal Juli, survei triwulanan dari British Chambers of Commerce menemukan bahwa 82% bisnis di Inggris melihat inflasi sebagai kekhawatiran untuk bisnis mereka. Para pelaku usaha melihat fenomena itu akan didampingi oleh perlambatan pada penjualan, niat investasi, dan kepercayaan omset jangka panjang.

“Bisnis menghadapi konvergensi tekanan biaya yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan pendorong utama berasal dari bahan baku, bahan bakar, utilitas, pajak, dan tenaga kerja,” terang Kepala Riset BCC David Bharier.

“Krisis rantai pasokan yang berkelanjutan, diperburuk oleh konflik di Ukraina dan penguncian di China, semakin memperparah ini.”

Direktur Jenderal BCC Shevaun Haviland menambahkan bahwa lampu merah di dasbor ekonomi kami mulai berkedip. Ini ditandai dengan hampir setiap indikator memburuk sejak survei bulan Maret.

Seorang distributor energi untuk perusahaan multijasa Utility Warehouse, Phil Speed, bahkan mengatakan untuk pertama kalinya dalam 10 tahun, ia tidak mampu memperoleh kesepakatan yang lebih baik untuk kliennya akibat situasi ekonomi ini.

4 of 5

“Saya pikir unit rate yang dikutip adalah 0,6 pound (Rp 10.000) per unit untuk gas, yang konyol. Saya membayangkan setahun yang lalu, kami telah melihat 0,05 pound (Rp 880) atau 0,06 pound (Rp 1.000) Ini benar-benar gila,” kata Speed.

“Kami tidak tahu apa yang akan disajikan kepada kami, karena kami tidak tahu apa yang akan terjadi. Harga hanya akan balistik. Tidak ada yang akan membelinya.”

Sebelumnya, inflasi tinggi telah membuat puluhan ribu orang melakukan pemogokan masal selama dua hari berturut-turut, dimulai Jumat ini. Mereka adalah para pekerja, meliputi staf kereta api dan pos hingga buruh pelabuhan. Inflasi

5 of 5

“Kami akan terus melakukan apa pun yang diperlukan untuk mempertahankan pekerjaan, gaji, dan kondisi selama krisis biaya hidup ini,” kata kepala serikat utama Inggris, Unite, Sharon Graham, dikutip AFP. (dbs)